Ribuan orang ikuti karnaval dugderan Kota Semarang, Selasa (21/3/2023). Pada perayaan dugderan Kota Semarang ini terlihat dari mulai pelajar, hingga kelompok budaya dari Kota Semarang, berkumpul ikut meramaikan acara ini. Beberapa di antaranya ada yang mengenakan pakaian adat, adapula yang bersiap menunjukan pertunjukan kesenian, tidak ketinggalan pula ikut berpartisipasi Grup Seni Budaya "Kartika Sari" Kampung Seni dan Budaya RW 13 Kelurahan Gisikdrono.
Untuk rute dugderan yaitu, dimulai dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Kota Semarang, dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) mulai siang s.d. sore hari.
Penampilan Jathilan Gisikdrono
Grup "Kartika Sari" Kampung Seni dan Budaya RW. 13. Mendapat kesempatan mewakili Kecamatan Semarang Barat pada acara Dugderan yang diadakan Pemerintah Kota Semarang.
Tampil di Alon-alon Masjid Agung Kota Semarang, dengan menampilkan kesenian budaya Kuda Lumping dan Jathilan. Berhasil membius histeris para penonton tidak beranjak dan menghibur warga masyarakat dengan aksi-aksi yang ditampilkan dengan alunan lagu tembang jawa diiringi tabuhan gamelan.
Sejarah Dugderan
Dugderan adalah suatu upacara yang dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan. Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Upacara ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu dicapailah suatu kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan yakni dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.
Kirab
Dalam Karnaval, khususnya seluruh warga Kota Semarang mengikuti pesta dugderan di Balaikota yang dirayakan 1 hari sebelum Ramadhan berlangsung dan hanya 1 kali dalam 1 Tahun.
Khususnya Wali kota Semarang dan istrinya yang selalu tersenyum ramah seraya menyapa masyarakat yang berdiri di sepanjang jalan Pemuda hingga berjalan arak-arakan keliling rute yang ditentukan, yang biasanya berkeliling di tengah kota. Berbekal pakaian adat khas jawa, Bapak Walikota dan istrinya menjadi pemimpin upacara yang khas dengan bahasa jawa. Pembukaan acara dugderan ini diawali dengan upacara yang dimeriahkan oleh penampilan para penari dan disambut oleh pasukan yang menggendong warak ngendog yang sangat khas dengan warna-warni busana adat dan ikon warak ngendog yang di pamerkan oleh perwakilan setiap daerah Kota Semarang.
Setelah upacara selesai, warak ngendog dan rombongan penari serta para warga yang mengikuti karnaval ini juga ikut keliling berjalan kaki menyisiri tengah kota Semarang dan berhenti di Masjid Tertua di Semarang, yakni Masjid Kauman Semarang. Disana Bapak Gubernur sudah menanti kedatangan Walikota beserta rombongan yang dibawanya untuk bertemu dan mendengarkan “wejangan-wejangan” yang disampaikan oleh bapak Gubernur untuk Walikota dan warganya.
Walikota menyampaikan dalam bahasa jawa mengucapkan semoga puasa di tahun ini mendapat Ridho dan memberi wejagan agar saling menghormati dan peduli kepada sesama serta lingkungan.
Perayaan multikultural ini semakin menarik minat masyarakat Semarang dan sekitarnya ditandai dengan makin banyaknya para pedagang yang menjajakan dagangannya yang beraneka ragam seperti minuman, makanan, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling dan gangsing. Selain itu dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi.
Bergerak Bersama, Hebat bersama
Semarang Semakin Hebat